September 19, 2010

Sehelai Surat Dari Kekasihku

“Aku ingin putus”. Kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir mungilnya. Kupandangi wajahnya dengan penuh tanya, tak dapat kusembunyikan kerut di dahiku. Aku kaget. Rasanya, hubungan kami baik-baik saja, setidaknya kami tidak bertengkar dalam satu bulan terakhir. Hmm sebentar, sepertinya, sudah lama sekali kami tidak ribut. Tidak ada yang salah kan? “Kenapa?” tanyaku kebingungan. Dia masih menunduk dan sepertinya
tidak berniat mengangkat kepalanya atau menjawab pertanyaanku. Kami
membisu. Lama…
“Kamu nggak mencintaiku”. Akhirnya, gadisku membuka suara. Namun,
suaranya yang lembut itu malah menuturkan kepedihan yang mendalam. Siapa
bilang aku tidak mencintainya?
Bidadariku, impianku… Dia persis seperti apa yang kuimpikan selama
ini, satu-satunya gadis yang bisa memenuhi segala inginku. Dia cantik,
lembut, pintar, dan sangat menghormatiku. Laki-laki mana yang tidak
mencintai wanita demikian?
“Aku mencintaimu, sayangku. Ada apa denganmu? Aku bingung”. Sungguh
aku bingung, dari mana dia mendapatkan ide gila seperti ini. Aku
sungguh-sungguh mencintainya. Ya Tuhan, apa yang terjadi?
“Sebaiknya kamu pulang dulu”. Kembali dia bersuara. Menyuruhku
pulang. Aneh, biasanya, dia tidak pernah memintaku pulang sebelum aku
sendiri ingin pulang. Kupandangi pucuk kepalanya, masih juga menumpukan
pandangannya pada rerumputan di halaman pondokannya. Tempat biasanya
kami menghabiskan waktu bersama sambil memainkan gitar bututku dan
menyanyikan lagu cinta baginya. Dia akan mendengarkan dengan seksama,
tak berkedip, hanya diam seakan terbawa suasana roman tersebut.
Kukecup puncak kepalanya, sama seperti biasanya ketika aku ingin
pulang. Kekasihku masih tak bereaksi. Kulangkahkan kakiku ke luar
pekarangan. Kepalaku penuh dengan dugaan. Biasanya, dia tidak pernah
membantahku, dia menghormatiku, mendengarkan kata-kataku dengan penuh
perhatian. Aneh sekali…
“Ga, ada surat di meja, dari Intan”. Benny teman pondokanku menunjuk
ke meja. Di sana tergeletak sebuah amplop putih, tertera namaku dengan
jelas. ADIRANGGA PERMANA. Tulisan tangan yang sagat kukenal, kekasihku,
DEWI INTAN PRASETYA. Lekas kurenggut surat tersebut dari meja, kubawa ke
kamar.
Dear Angga,
Telah kulewati saat-saat manis bersamamu, aku sungguh-sungguh
mencintaimu. Terima kasih telah memenuhi impianku memiliki seorang
pangeran yang melindungiku, memegang tanganku di saat kujatuh dan
menyanyikan lagu-lagu cinta yang indah.
Kusadari beberapa saat kemudian, aku begitu mencintaimu; hanya, aku
tdak cukup yakin kau mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Aku hanyalah
bayangan bagimu, yang bisa kau atur sedemikian rupa sesuai dengan
keinginanmu.
Awalnya kupikir, dirimu adalah sang pangeran yang melindungiku. Tapi,
akhirnya, yang kurasakan hanyalah kungkunganmu yang yang terlalu
mengikat. Aku tidak boleh bicara pada si A karena dia bisa melukaiku, si
B tidak bisa menjaga rahasia, atau si C terlalu egois. Aku tidak pernah
pergi ke mana pun selain bersamamu.
Awalnya, kupikir dirimu ada untuk memegang tanganku ketika kujatuh.
Namun, pada akhirnya, pergelangan tanganku terasa sakit karena kau bukan
hanya memegang, tapi juga mencekal tanganku dengan sangat keras.
Kau tidak suka kepada gadis yang lemah. Menangis adalah simbol
kelemahan menurutmu. Aku tidak boleh menangis, bahkan ketika aku merasa
sangat sakit.
Kau nyanyikan lagu-lagu cinta yang indah hanya karena kau ingin ada
yang mendengarkan nyanyianmu. Kau tidak pernah menanyakan apakah aku
menyukai lagu yang sedang kau lantunkan. Atau apakah aku sedang ingin
mendengarmu bernyanyi? Atau, apakah aku sedang ingin kita pergi ke suatu
tempat berdua? Semua keputusan ada di tanganmu.
Ah, semuanya terasa begitu indah, namun aku tidak tahan. Sungguh
Angga, aku tergila-gila kepadamu. Tapi, rupanya, cinta saja tidak cukup.
Tidak cukup jika orang yang kita cintai perlahan-lahan membuat kita
kehilangan diri kita yang sebenarnya. Aku menjadi kekasihmu yang penurut
tanpa keinginan sendiri.
Maafkan aku… Aku ingin menentukan jalanku sendiri. Maaf, sekali lagi maaf…
Termangu kupandangi helaian surat terakhir kekasihku. Rupanya demikian baginya.
Terbangun, kusadari jemariku masih menggenggam kuat surat Intan.
Lusuh dan tak berbentuk surat lagi. Kupandangi surat itu sekali lagi.
Masih kuterdiam, tak ada kata yang muncul dalam benakku. Otakku serasa
lumpuh total, kaku.
Beranjak aku menuju kamar mandi. Kuguyurkan banyak-banyak air ke
kepalaku, siapa tahu dapat menjernihkan pikiranku, melepaskanku dari
kelumpuhan otak dan membuatku melihat masalah ini lebih jelas.
Bayangan Intan menari-nari dalam pikiranku. Tawanya saat kali pertama
kami bertemu membuatku jatuh cinta, secantik bidadari. Dalam hati aku
berjanji tidak akan membuatnya menangis, dia akan selalu tertawa
bersamaku.
Akhirnya, kami berbicara tentang banyak keputusan demi kebaikannya.
Ah, sebenarnya bukan kami yang bicara. Tapi aku. Intan mendengarkan
saja. Kupikir, dia pendiam dan jarang bicara, dia banyak tersenyum. Yah,
tak pernah kudapati lagi tawa selepas pertermuan pertama kami dulu.
Salahkukah atas semua yang berubah pada Intanku, bidadariku?
Dear Intan kekasihku,
Bukan karena aku tidak cukup mencintaimu… Sebaliknya, aku sangat
mencintaimu, tergila-gila kepadamu sampai tak kusadari bahwa segala
usahaku telah melukaimu sedemikian perihnya.
Cinta tidak pernah salah, Tan. Hanya egoisme manusia saja yang
menodai cinta, seperti aku sekarang. Egoismeku membuatku mencintaimu
dengan cara yang salah.
Kusadari segalanya sekarang, Sayang… Maafkan aku. Beribu maaf karena
telah melukaimu… Terima kasih telah menyadarkanku dari tidur panjang,
tidur beralas dan berbantalkan tangis dan kepedihanmu.
Dalam hidupku, kau tetaplah bidadariku… Dirimulah satu-satunya
bidadari yang berkenan menjejakkan kaki dalam hidupku dan membuat
hidupku tidak akan pernah sama lagi.
Kuiringi langkahmu dengan doa, bukan berarti aku tidak mencintaimu
lagi. Masih… aku masih mencintaimu, tapi kuhormati keputusanmu. Langkah
kecilku untuk mewujudkan kebahagiaanmu, melihat tawa lepasmu lagi,
walaupun dari kejauhan.
Kulipat surat balasanku kepada Intan, mantan kekasihku. Seperti
itulah status yang kusetujui atas permintaannya demi kebahagiaannya,
demi tawa lepasnya lagi. Lega rasanya melepaskan kegalauanku atas
kesalahan yang sudah kulakukan pada hidup gadis yang paling kucintai.
Kupelajari banyak hal dari helaian suratnya kemarin, sekarang kutempelkan di dinding kamar agar selalu ingat bahwa mencintai berarti membebaskan. Memercayainya untuk bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya sendiri. Karena mencintai, tidak memberiku hak penuh untuk mengatur hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

share this..

share it..

music here !! ♥♥